Untitled #9

"Positive thinking will let you do everything better than negative thinking will." - Zig Ziglar

Trip to My Beloved Village (RIP My Beloved Grandpa)

Ini cerita tentang opung dan perjalanan keluargaku ke kampung halaman kami tercinta..
*****
Opung (sebutan untuk opa dalam bahasa batak) setahun yang lalu (2010, red) telah tinggal bersamaku di Makassar. Beliau datang dari Tangerang bareng papa yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Curug, Tangerang. Sekitar 3 bulanan sudah opung berangkat meninggalkan Pematang Bandar dan tinggal di rumah tulang (paman, red) yang di Tangerang. Opung telah sebelas tahunan di Pematang Bandar. Mungkin karena beliau ingin mencari suasana baru, beliau pun berangkat ke Tangerang. 3 bulan sudah opung tinggal bersama anak ke 5-nya, hingga pada akhirnya papa mengajak opung untuk jalan-jalan ke Makassar. Ya, hanya jalan-jalan. Awalnya tulang mengizinkan opung ikut papa dengan alasan hanya untuk jalan-jalan saja. Nggak disangka, opung betah di Makassar, dan enggan untuk pulang lagi ke Tangerang bahkan ke Pematang Bandar. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh semua kakak-kakak mama saya. Mereka mengatakan bahwa opung sudah sangat tua, yang mereka khawatirkan adalah apabila terjadi apa-apa pada opung, dan opung jauh dari mereka. Adat di sana, ketika terjadi hal buruk pada orangtua (meninggal, red), alangkah baiknya bila berada di tempat anak laki-laki, dalam hal ini entah di Pematang Bandar ataukah di anak laki-lakinya yang ada di Tangerang. Dua bulan terakhir sebelum kepergian opung, beliau sakit-sakitan, bahkan dua kali masuk rumah sakit. Ketika masuk rumah sakit yang pertama kalinya, tulang-tulangku yang di Medan dan Tangerang sudah menelepon mama terus-menerus untuk menyuruh opung pulang. Tapi opung bersikeras nggak akan balik ke Tangerang atau bahkan Pematang Bandar. Begini katanya, “Di manapun Tuhan memanggil saya, sama saja. Entah di anak laki-laki, ataupun di tempat anak perempuan, semuanya sama saja. Dimanapun saya dikuburkan, disamping kuburan opung boru(alm. Istrinya) atau tidak, sama saja. Toh nantinya ketika di alam baru sana pun kita tidak akan saling mengenal satu dengan yang lainnya. Jadi saya ingin meninggal di sini dan di makamkan di sini.” Mama pun nggak ingin menyuruh opung pulang, karena itu akan menimbulkan kesan bahwa mama mengusirnya dan nggak ingin mengurusnya, padahal mama ingin mengurus opung semampunya. 
 
Ketika masuk rumah sakit pertama kali, opung didiagnosa menderita sakit anemia berat. Setelah mendapatkan perawatan, akhirnya kondisi kesehatan opung pun mulai membaik. Opung pun diizinkan pulang. Beberapa hari kemudian, ngga disangka, opung tiba-tiba nyuruh mama untuk menelepon anaknya yang ada di Medan. Beliau ingin dikirimkan jas baru yang mahal. Mama kaget dan nanya ke opung, "Untuk apa jasnya, Pak", dan Opung menjawab, "Untuk saya pake ke gereja kalau hari minggu." Mama pun menuruti keinginan opung, dan beberapa hari setelah itu, paket kiriman jas-nya pun tiba di rumah. Kami sekeluarga khawatir dan bertanya-tanya, "apakah ini suatu pertanda?" Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Opung.

Sekitar dua minggu pasca sembuh dari anemia beratnya, opung mulai merasakan pusing-pusing lagi. Nafsu makannya menurun drastis, yang membuat tubuhnya semakin kurus. Karena kondisi kesehatannya yang makin menurun, ditambah sesak yang membuatnya sulit bernafas, akhirnya opung pun dibawa ke rumah sakit. Saya ingat, saat itu hari jumat malam, 15 April 2011, sekitar jam 9 malam, opung sudah merasa sangat sesak, bahkan beliau mengatakan bahwa ia sudah nggak kuat. Kami sekeluarga khawatir. Papa panik mencari taksi, mama panik melihat kondisi opung, saya dan adek pun panik menyiapkan barang dan menunggu taksi datang. Taksi pun datang, dan opung dipapah ke dalam taksi. Mungkin karena terlalu sakit, akhirnya di dalam taksi beliau tidak lagi bisa duduk, hanya berbaring di pangkuan mama. Adek ikut ke rumah sakit bersama taksi itu, dan papa dengan motor. Saya tinggal di rumah. Saya nangis, dan hanya berdoa, berdoa, dan terus berdoa, mendoakan yang terbaik untuk opung. Setelah mendapatkan penanganan yang segera, opung pun tak lagi sesak, dan agak baikan.

Saya ingat sekali bahwa dua hari sebelumnya, mama sempat meminta didoakan ketika ibadah keluarga di rumah tante dewi (dosen saya juga di kampus), agar semoga tidak terjadi apa-apa dengan opung, tidak masuk rumah sakit, dan hari minggu, 17 April 2011, bisa mengadakan acara syukuran karena adek udah di sidi, dan bertepatan dengan perayaan ulang tahunnya. Tapi Tuhan punya rencana lain. Opung masuk rumah sakit. Hari minggu ketika adek di sidi, papa, mama, dan saya menghadiri acara tersebut, namun acara syukuran yang direncanakan sebelumnya ditunda.. Opung dijaga tante Ine di rumah sakit. Seharusnya saya sebagai cucunya yang menjagai beliau, namun di satu sisi saya juga ingin melihat adek saya disidi.

Hari pun berlalu. Ketika hari selasa, dua orang kakaknya mama datang, yakni kakak pertama (perempuan) dan kedua (laki-laki), yang tinggal di Pematang Bandar. Mereka berangkat hari selasa pagi, dari Pematang Bandar menuju Medan. Dan dari Medan mereka transit sebentar di Jakarta. Mereka pun melanjutkan penerbangan ke Makassar dan tiba sekitar pukul 21.30 WITA di Makassar. Selama di perjalanan menuju Makassar, opung selalu nanyain ke mama “sudah sampai di mana mereka? Kenapa lama sekali sampainya?”, dan mama pun selalu menelpon papa menanyakan posisi mereka. Sepertin ya opung memang tidak sabar bertemu kedua anaknya itu. Semenjak diberitahukan bahwa kedua anaknya yang di Pematang Bandar bakal datang ke Makassar menjenguk opung, opung jadi selalu menanyakan mereka ke mama. Bahkan opung pun bertanya, “kenapa hanya dua orang yang datang? Kenapa tidak semua (anak-anaknya) juga ikut datang?”, mama hanya mengatakan bahwa biayanya yang tidak cukup untuk mereka semua datang ke Makassar.

Sesampainya mak tua dan tulang agus di Makassar, papa membawa mereka ke rumah sebentar untuk menaruh barang-barang. Sekitar jam sepuluhan, mereka ke rumah sakit. Setelah menempuh perjalanan sejam dari rumah ke rumah sakit, sekitar pukul sebelas mereka tiba di rumah sakit. Sebenarnya saya juga ingin ikut ke rumah sakit saat itu (entah ini feeling apa bukan), berhubung mereka (papa, mak tua, dan tulang) ke rumah sakit dengan taksi. Tapi saya juga mikir gimana pulangnya nanti, karena rencananya papa nanti pulangnya naik motor bareng adek yang emang udah ada di rumah sakit saat itu. Saya pun memutuskan untuk tinggal di rumah. 

Tulang dan mak tua pun ngobrol-ngobrol dengan opung. Mama juga sempat menelepon kakak-kakaknya yang nggak bisa datang ke Makassar, keluarga-keluarga yang ada di Medan, Tangerang, Bandung, dan yang lainnya. Opung berbicara dengan mereka walau hanya via telepon. Tapi mama bilang, “walau mereka nggak datang, yang penting opung bisa denger suaranya.” Cukup lama mereka ngobrol-ngobrol. 

Oya, beberapa saat sebelumnya Ibu Pendeta dan beberapa warga jemaat gereja di tempat kami juga datang menjenguk. Dan yang bikin saya merinding, mama cerita, katanya pas pendeta nanya ke opung, "Opung mau didoakan apa? Penyerahan atau penyembuhan?", Opung menjawab, "Penyembuhan." Bahkan opung masih hafal dan fasih berdoa 'Doa Bapa Kami', walaupun beliau berdoa sambil duduk tertunduk dan liurnya menetes karena tidak kuat untuk duduk lagi, beliau sangat berusaha. T_T

Hingga akhirnya mama menyuruh opung istirahat karena opung pun sudah terlihat capek. Begitu pula kakak-kakak mama disuruh istirahat karena telah menempuh perjalanan jauh, dan mama yang menjaga opung. Mama sempat ngobrol dengan pasien di sebelah opung. Pasien itu sempat bilang, “bersyukur ibu, bapak masih sempat bertemu dengan anak-anaknya, sempat ngobrol-ngobrol juga.” Setelah selesai ngobrol, mama pun memutuskan untuk istirahat. Sebelum tidur, mama sempat memegang tangan opung, untuk memastikan bahwa opung baik-baik saja. Dan memang opung baik-baik saja, tangannya masih hangat, dan wajahnya pun sepertinya tertidur pulas. Tak lama ketika mama mencoba tertidur, sekitar jam dua, ternyata mak tua bangun dan memegang opung. Dia teriak, mama dan semua kaget. Mak tua teriak sambil bilang, “aaaaaa, bapak sudah tidak ada.” Sambil nangis mak tua teriak. Tangan dan badan opung sudah dingin. Papa yang ketika jam satu itu sudah ada di rumah bersama adek, hanya sekitar sejam di rumah, papa dan adek pun kembali ke rumah sakit ketika mendengar hal itu. sekitar jam 3 subuh, tante ine datang ke rumah. Saya yang tertidur pulas nggak dengar ketika tante ine manggil-manggil dari luar pagar. Bahkan 5 panggilan di handphone saya pun nggak saya rasakan getarannya sama sekali. Nggak berapa lama setlah tante ine manggil-manggil saya, bahkan tante ine juga sempat berpikir untuk manjat pagar namun nggak jadi karena takut disangkain maling sama tetangga, mama dan adekpun datang. Ketika mereka sibuk menyiapkan jas dan barang-barang lain yang mau dibawa ke rumah sakit, akhirnya saya pun terbangun. Awalnya saya heran kenapa semua pada sibuk, bahkan saya bertanya “Kenapa opung dibawa pulang? Opung udah sembuh?” mama menjawab, “Opungmu udah nggak ada. Udah meninggal opungmu.” Saya kaget seketika. Speechless. Dan saya bilang ke mama, “padahal tadi malam saya mau ikut ke rumah sakit, tapi bingung gimana pulangnya nanti.” Mama langsung bilang, “nggak papa kok.” Ketika mama mau balik ke rumah sakit bareng adek, saya sempet pengen ikut ke rumah sakit, tapi papa nggak ngizinin, karena takutnya ada polisi dan adek belum punya sim. Akhirnya saya pun tinggal di rumah sama tante ine. Beberes rumah karena jam 7 pagian nanti jenazah opung mau dibawa ke rumah untuk ibadah singkat, ibadah pelepasan jenazah sebelum dibawa ke Medan. Jenazah opung tiba di rumah sekitar jam 7 pagi, dan ibadah singkat pun dimulai. Sekitar pukul 07.30 WITA, kita sekeluarga ke airport nganter tulang agus yang bakal berangkat ke Medan membawa jenazah. Berhubung karena pendamping di satu paket pengiriman jenazah hanya satu orang, jadinya tulang agus-lah yang berangkat duluan. Tulang agus dan jenazah opung pun tiba di Medan, lalu dibawa ke Pematang Bandar dengan menggunakan ambulance.

Tiket untuk ke Medan di hari rabu masih terlalu mahal. Jadinya papa memutuskan untuk membeli tiket keberangkatan hari jumat yang lebih murah agar bukan hanya mama dan mak tua yang berangkat, namun papa, adek, dan saya pun bisa ikut ke Medan menghadiri pemakaman opung yang rencananya dimakamkan hari sabtu. Jumat, 22 April 2011, kami sekeluarga berangkat ke Medan. Kami berangkat subuh dari rumah, sekitar pukul 05.00 WITA menuju Sultan Hasanuddin International Airport. Setelah check-in, akhirnya sekitar pukul 06.30 WITA, pesawat pun take-off. Sekitar 2 jam penerbangan, kami transit di Soekarno-Hatta International Airport. Sekitar sejam setelah melapor di bagian pelaporan penumpang transit, kami pun melanjutkan perjalanan ke Medan yang ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. 

Sesaat sebelum take off Jakarta-Medan


Sekitar pukul 11.00 WIB kami tiba di Polonia International Airport. Kami masih harus menempuh 3 jam perjalanan darat untuk sampai di Pematang Bandar. Sekitar jam setengah empat sore kami tiba di Pematang Bandar. Kami disambut dengan haru. Kakak-kakak mama pada nangis.

Semua keluarga pada ngumpul di rumah tulang Agus, kakak laki-laki mama yang pertama. Sejak kami sampai, acara berasa nggak ada hentinya (halah, ini lebay), mulai dari acara nangis-nangisan semua anak-anaknya opung, dan anggota keluarga lainnya, acara nyanyi puji-pujian, dan sebagainya. Sampai akhirnya saya benar-benar nggak bisa nahan ngantuk dan memutuskan tidur jam sepuluh malam. Keesokan harinya, sabtu, 23 April 2011, pagi-pagi buta semua keluarga udah pada beberes, dandan buat acara pemakaman opung. Saya bukan type cewek yang suka dandan sampe menor, bedak dan lipgloss cukup kok buat saya haha.. 

Acara pun dimulai. Buju buneennggg... ternyata acaranya seharian. Sekitar jam delapan pagi, acara udah dimulai di rumah tulang Agus, acaranya itu sejenis ucapan-ucapan terakhir yang ingin disampaikan ke opung yang bentar lagi akan dimakamin. Mulai dari anak, sampe cucu-cucu ngasih ucapan-ucapan terakhir. Sekitar jam sembilanan, jenazah dibawa ke gereja (tepatnya bangunan samping gereja) untuk diadakan acara selanjutnya. 

 Ketika jenazah Opung dibawa dari rumah menuju Gereja



 Menuju Gereja


Nah di sini ini yang acaranya nguras tenaga banget. Acara adat yang mengharuskan kaki untuk bekerja lebih maksimal (berdiri, red). Cuma berdiri sih emang, tapi berdirinya itu sekitaran TUJUH JAM. Buseeettttt.... Paling duduknya cuma bentaran, eh udah mesti berdiri lagi di samping petinya opung. 

 Semua cucu harus berdiri di samping peti Opung


Tiap ada orang yang dateng ngasih santunan, uang, ulos, beras, dll, musik pun dimainkan dan kita semua mesti manortor. 



Melelahkan memang. Tapi nggak papa deh, demi opung untuk yang terakhir kalinya. Sekitar jam setengah limaan, jenazah pun dibawa ke tempat pemakaman 



 Perjalanan menuju tempat pemakaman


dan dimakamkan (good bye my beloved opung...).

Hari minggu tiba. Kita udah mulai beresin barang-barang, siap-siap mau ninggalin Pematang Bandar di esok hari. Waktu berjalan, dan sampailah di malam hari. Papa, mama, adek, dan aku diadatin gitu. Bukan diadatin sih, entahlah apa namanya. Tiga kakak laki-laki mama ngasih piring besar isinya nasi sama ikan mujair jumbo. Sambil ngasih makanan itu, mereka bicara dalam bahasa batak, mama bilang sih artinya mereka ngucapin terima kasih sama kami karena kami udah ngerawat opung selama opung ada di Makassar, bahkan sampai meninggal di Makassar. Oya, ada juga beras yang ditaruh sedikit-sedikit di kepala kami, yang kata mama, itu artinya kita diberikan berkat Tuhan melalui kakak-kakak mama itu. pokoknya aku speechless deh sama adat istiadat di sana yang masih kental.. :)

Keesokan harinya, kami, keluarga tulang Hendra, dan tulang Jares udah mulai berangkat ke tempat tujuan kami masing-masing. Tulang Hendra dan tulang Jares berangkat ke rumah keluarga mereka yang juga masih di Medan, dan kami pulang ke Makassar. Ya, awalnya papa bilang kalau kami akan pulang ke Makassar hari senin itu, tapi ternyata nggak. Sampai di kota Medan, saya, mama dan adek heran karena papa bukan nyuruh sopir mobilnya ke airport malah ke hotel. Ternyata temen papa udah nge-booking-in kamar di Danau Toba International Hotel



Walhasil, kita nginep satu malam di hotel. Nyampe di hotel, kita istirahat sebentar dan langsung menjelajah Medan nyari makan. Karena kita nggak tau jalanan di Medan, akhirnya nanya ke security hotel tempat makanan yang deket hotel. Kita ngitarin jalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya kita nemuin satu mall. Sun Plaza. Abis makan dan belanja di mall, kita pun balik ke hotel. Ternyata eh ternyata, mall sama hotel itu berdekatan, tapi karena kita salah ngambil jalan, kita malah muter, ajee gileee, betis bengkak karena jalan (okeh, ini lebay).

Malamnya, temen papa ngejemput kita di hotel. Kita ngitarin Medan di malam hari. Merdeka Walk adalah tempat kami mneikmati malam, juga santap malamnya. Kalo aku bisa mendeskripsikan, Merdeka Walk itu tempat makan yang ada di pinggir jalan, namun sudah didesain sedemikian rupa, ditata dengan baik sekali menurut saya. Warna-warni lampu menghiasi sepanjang Merdeka Walk. Di sana ada televisi besar yang sengaja ditaruh di bagian atas, disanggah oleh tiang-tiang yang emang didesain untuk itu. makanan-makanan yang ditawarkan juga hi-class. Pokoknya keren dehh.. 

 Merdeka Walk, Medan


Setelah santap malam, kami pun balik ke hotel.

Selasa pun tiba. Di pagi hari, setelah breakfast di Terrace Cafe yang ada di hotel, kami jalan lagi ngelilingin Medan, nyari bika ambon, oleh-oleh khas dari Medan. Cukup jauh, and you know what, kita jalan kaki. Huuuaaahhh capek gilee...  Lagi asik-asiknya jalan, kita ngeliat salah satu gereja di Medan, dan nyempetin foto.. hihi..



 Perjalanan pun dilanjutkan..

Akhirnya kita sampai di suatu gang yang di sepanjang jalan gang itu semuanya pada jual bika ambon. Udah dapet bika ambon, kita jalan lagi. Di jalan balik ke hotel, ada Cambridge Mall. Kita masuk ke sana, dan hanya masuk ngeliat-liat doang, dan keluar haha. selanjutnya kita ke Sun Plaza (lagi), buat ngisi perut. And then, balik ke hotel untuk siap-siap check out.  Istirahat bentar, dan sekitar jam duaan, kita check out dari hotel dan dijemput temen papa untuk dianter ke airport.

Pesawat Sriwijaya Air yang kita tumpangi take off sekitar jam empat-an dan tiba di Soetta Airport sekitar jam 6 lewat. Rencananya sih sampai di Cengkareng, mau ke Tangerang, karena kita baru take off ke Makassar jam 00.30 WIB, daripada nunggu kelamaan di airport, mending ke tempat tulang Jares. Kita mengira, tulang take off dari Medan sore dan bisa sampe di Cengkareng jam 7, ternyata mobil yang tulang tumpangin dari kampung ke kota Medan itu lambat, jadinya sekitar jam tujuh itu, tulang malah belum sampai di airport. Walhasil, sampai di Cengkareng, kita ke rumah temen papa yang kebetulan nggak jauh dari airport Cengkareng. 

Sekitar jam sepuluh malam, kita kembali ke airport. Ternyata suasana di airport di malam hari itu emang sepi beneeerrr... Bayangin aja, pas kita nyampe di gate keberangkatan, orang-orang disitu bisa dihitung jari. Yang ada cuma petugas bandara, penumpang yang ada baru kita aja. Sampai akhirnya penumpang yang lain mulai berdatangan. Malam yang sepi dan amat sangat dingin di bandara. Kami bahkan sempet tidur dikursi-kursi ruang tunggu keberangkatan. Tapi berhubung saya merasa amat sangat kedinginan, saya jadi nggak bisa tidur. Well, daripada benging, mending foto-foto, mengabadikan suasana malam hari di airport, hihi. (karena alasan privacy, saya nggak posting fotonya di sini.. *sok)

Setelah nunggu sekitar dua setengah jam, panggilan masuk pesawat pun terdengar. Kami tiba di Sultan Hasanuddin International Airport sekitar pukul empat dini hari. Setelah nunggu bagasi, sekitar pukul lima-an, kami berangkat menuju our home sweet home. Sampe rumah, kita semua langsung TEPAAAARRRRR....

 Beberapa hari kemudian, papa membongkar koper Opung. Di situ ada sebuah kertas, and you know what? Ternyata Opung nulis semua tanggal, bulan dan tahun mulai dari ketika Opung hijrah dari Pematang Bandar ke Tangerang, tahun beliau kembali ke Pematang Bandar, tanggal meninggalnya opung boru, tanggal ketika beliau kembali lagi ke Tangerang tahun kemarin, tanggal keberangkatan beliau ke Makassar,  tanggal ketika di rumah saya ada kebaktian keluarga, bahkan opung juga nulis tentang kapan beliau memasang gigi palsu, sampai biaya memasang gigi palsu itu, tentang bagaimana beliau menyuruh anaknya yang di Medan untuk mengirimkan uang dari tabungan uang pensiunannya, semua ada di kertas itu. Mama bilang, "Mungkin Opung senang dan udah lama kepengin masang gigi palsu, ya". 


Opuuuunnggg.. I love you.. And I'll be missing you so much.. :*

Untitled #8

"Freedom is not worth having if it does not include the freedom to make mistakes." - Mahatma Gandhi

up