Arah Layar, bukan Arah Angin !

Pernah lihat perahu layar? Pasti kita semua tahu seperti apa itu perahu layar, baik yang kita lihat secara langsung maupun kita lihat di televisi. Menurutmu, apa yang menentukan arah perahu layar itu? Arah layar atau arah angin?

Hmm, ketika hal ini dipertanyakan dalam suatu forum, terjadi perdebatan panjang. Ada yang menganggap arah suatu perahu layar ditentukan oleh arah angin, dan ada pula yang berpendapat bahwa arah layar-lah yang menentukan. Awalnya saya beranggapan bahwa arah angin-lah yang menentukan, apalagi didukung pendapat salah seorang yang hadir dalam forum tersebut yang mengatakan bahwa apabila tidak ada angin, maka  perahu tidak dapat melaju. *bener juga sih..

Namun setelah sekian lama perdebatan itu berlangsung, sampailah pada suatu penjelasan seperti ini..
“Ketika arah angin di lautan bertiup ke arah selatan, perahu layar akan tetap dapat melaju ke arah barat ataupun timur, bahkan dapat melaju ke utara, melaju melawan arah angin.”

Hidup kita ibarat perahu layar tersebut. Arah angin merupakan hal-hal yang ada dan terjadi di sekeliling kita, sedang arah layar merupakan keputusan-keputusan yang kita ambil dalam kehidupan kita ini. Ketika arah angin berusaha menjauhkan perahu layar menuju tujuannya, sedapat mungkin kita mengarahkan layar agar tetap dapat menuju tujuan awal. 
Sama seperti kehidupan kita. Sekeliling kita akan selalu berusaha membawa kita menjauhi tujuan hidup yang telah kita tetapkan sebelumnya, dan itu pasti. Namun kita harus pandai dalam mengatur arah layar, yakni kita harus mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan demi tercapainya tujuan-tujuan yang ingin kita capai.

Bila arah layar perahu kehidupan kita hanya diarahkan kepada-Nya, yakin dan percaya, angin tidak akan mempengaruhi kita. Tuhan akan tetap mengarahkan kita demi mencapai tujuan dan hal-hal yang kita cita-citakan.

Mengapa Mulut di Depan?

“Mengapa mulut kita ada di depan?”, 
nggak sedikit yang tertawa ketika mendengar pertanyaan ini. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa ini adalah sebuah lelucon, pertanyaan bodoh. Tapi jikalau ditilik lebih dalam lagi, pertanyaan ini bisa dijadikan sebagai renungan hidup kita.

Berbagai versi jawaban timbul ketika pertanyaan ini dilontarkan, namun ada satu jawaban yang menurutku dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran kita bersama.

Satu alasan mengapa Tuhan menciptakan mulut kita di bagian depan dan bukan di bagian belakang dari kepala kita, yakni agar perkataan yang dikeluarkan oleh mulut kita tidak membawa kita berjalan mundur pada masa lalu, pada kepahitan dan juga pada kegagalan, namun berjalan maju, menuju masa depan. Itulah yang kita sebut sebagai suatu optimisme.

Menggenggam Hujan

Ku dengar deru hujan
Ku berlari keluar
Ku cari di mana sang hujan

Tak lama ia pun turun
Mengguyur tubuh
Menyapa jiwa

Terasa sejuk sentuhan itu
Coba ku genggam
Bodoh ! Itu mustahil !

Seperti itulah kamu
Ada namun tak dapat ku genggam

Negeri Para Bedebah

Beberapa hari yang lalu, saya menonton program di salah satu stasiun televisi, tepatnya program berita. Yep, hal biasa memang, tapi yang menurut saya nggak biasa itu, setiap kali memulai program setelah iklan, tayangan pertama yang program berita itu tampilkan adalah video pembacaan puisi yang menurut saya cukup membuat saya merinding. Bukan karena videonya, tapi karena isi dari puisi tersebut.

Saya pun mulai searching di internet mengenai puisi itu. Dan ini salah satu kutipan yang saya peroleh:

Mantan Juru Bicara Presiden Abdrurrahman Wahid; Adhie M Massardi telah membacakan sebuah puisi berjudul “Negeri para bedebah” didepan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) senin, (2/11/2009).


Berikut puisi tersebut:

“Negeri para bedebah”
Karya: Adhie M Massardi


Ada satu negeri yang dihuni para bedebah 
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa 
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah 
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala


Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah? 
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah 
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah 
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah


Di negeri para bedebah 
Orang baik dan bersih dianggap salah 
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan 
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah 
Karena hanya penguasa yang boleh marah 
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah


Maka bila negerimu dikuasai para bedebah 
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah 
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum 
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya


Maka bila negerimu dikuasai para bedebah 
Usirlah mereka dengan revolusi 
Bila tak mampu dengan revolusi, 
Dengan demonstrasi 
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi 
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Menurut saya, puisi ini amat sangat menyindir Pemerintah, dan sudah seharusnya Pemerintah menjadikan ini semua sebagai cambuk untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Berantas para ‘tikus’ licik itu dengan setuntas-tuntasnya. Bersihkan negeri ini dari korupsi, dan jangan biarkan ‘tikus’ yang merajalela itu membuat negeri ini tambah bobrok. Bangkitlah !


up