Kisah Sepasang Boot Tua

Barusan ketika aku menjelajahi dunia maya, tepatnya dunia blogger, aku nemuin satu blog yang menurutku isinya inspiratif, keren. Blooming Edelweiss. Salah satu postingan-nya membuatku tertarik untuk mem-posting-nya di blog-ku. Yep, cerpen tentang 'Kisah Sepasang Boot Tua'.


***


Sepasang boot tua tergeletak rapi di sudut lemari. Tidurnya pulas, mungkin dia sedang bermimpi indah. Mimpi-mimpi yang telah menjadi kenyataan. Dia sudah begitu tua, namun semangatnya masih sangat muda. Dia masih ingin berkelana ke seluruh dunia, menggapai indahnya langit malam dan menaklukkan kekuatan ombak samudera. Namun kekuatannya sudah amat rentan dan tubuhnya mulai rapuh. Sehingga kini dia tidak mampu lagi menaklukkan semua angan-angannya.

Sepatu boot itu terbangun dan memandangi sang petualang yang sedang duduk membaca koran pagi. Petualang itu bersandar pada kursi rotan yang empuk. Dia sudah banyak berubah. Sudah mulai tumbuh rambut putih di kepalanya. Pandangannya mulai layu, tertutupi oleh kacamata tebal yang bertengger di hidungnya. Keriput telah menutupi kulit dan otot-ototnya yang kuat. Masa kejayaannya telah berlalu. Masa muda yang menyenangkan dan penuh warna.

Dia melepaskan kacamatanya dan menoleh ke boot tua itu. Dia tersenyum dan memejamkan kedua matanya. Dia membayangkan beribu kenangan di masa muda. Saat itu dia masih kuat dan ambisinya masih menyala. Pandangannya begitu tajam menatap ke arah masa depan yang penuh tantangan. Kulitnya keras dan otot-otot menggelembung indah di setiap bagian tubuhnya. Para wanita bersorak dan memuja kegagahannya. Tapi itu semua masa lalu...

Sepatu boot dan petualang yang sama tuanya itu telah merasakan pahit manisnya kehidupan. Mereka belajar bertahan hidup dengan berbagai petualangan nyata yang tak ternilai harganya. Berjuang melawan ketakutan dan keganasan alam. Semua jerih payah dan buah pikiran dikorbankan untuk satu cita-cita. Saat berhasil menginjakkan kaki di daratan tujuan, mereka akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan itu melebihi kemewahan fana yang ditawarkan dunia...

Mereka belajar mengerti satu sama lain. Berpedoman bahwa kesetiaan, persahabatan dan kerja keras adalah puncak dari segala-galanya. Keringat yang mengalir akan terbayarkan oleh segarnya tetesan dari air mata bahagia. Kulit yang kian terbakar akan terbalut oleh damainya ketangguhan hati sang petualang.

Sang petualang mengangkat boot tua itu ke hadapannya. Boot tua seakan tersenyum. Senyum yang tidak dapat dilihat tapi dapat dirasakan. Senyum keikhlasan dari sepasang sepatu yang telah begitu tulus mengabdi pada sang petualang. Baginya, petualangannya tak dapat terbayarkan. Beribu pemandangan indah yang dia saksikan telah mengobati luka-luka di sol dan kulit tebalnya.

Boot tua itu masih berwarna kecoklatan. Namun kulit yang menutupinya telah kian menipis. Kulit itu telah melindungi kaki sang petualang dari tajamnya terik sang surya dan dinginnya salju serta aliran air yang menghalangi perjalanan mereka. Sol hitamnya yang berkualitas istimewa mulai timbul luka-luka dan goresan-goresan kecil. Di sekelilingnya terlihat bekas jahitan untuk menguatkan solnya yang kian terlepas. Sol itu begitu berjasa. Sol itu melindungi sang petualang dari tajamnya batu-batu dan panasnya pasir gurun. Sang boot tua melupakan rasa sakit yang dialaminya demi keselamatan sang petualang. Sesekali dia meringis kesakitan saat duri-duri kecil hinggap dan melukai dirinya. Namun, itu semua tidak akan pernah menjadi penghalang baginya untuk mencapai impian besar bersama sang petualang.

Dia masih terlihat tangguh. Ikatan dari kulit yang menguatkannya dan tali-tali yang mengikat dirinya menggambarkan kekuatan dari hatinya. Dia masih nyaman untuk dipakai, tapi sang petualang tidak tega untuk menggunakannya. Kondisi kesehatannya sudah sangat rentan. Dia sudah terlalu lelah. Sudah saatnya dia beristirahat dan menikmati masa tuanya.

Boot tua itu masih ingat berbagai petualangan menarik yang diperolehnya. Dia pernah memandang keajaiban dunia dan indahnya hutan cemara pada musim gugur. Dia membayangkan panasnya padang pasir dan tajamnya kaktus serta manisnya buah kurma saat mereka mengunjungi kemegahan piramida Mesir. Dinginnya es Alaska dan putihnya salju abadi yang membuatnya menggigil telah menjadi kenangan favoritnya. Semak belukar tajam dan beracun merintangi perjalanan mereka menuju keindahan hutan hujan dan pemandangan danau yang mempesona.

Dia ingat akan kengeriannya saat mendaki bukit-bukit terjal. Sesekali dia tergelincir dan batu-batu kecil di sekitarnya ikut gugur. Fenomena ombak dan badai yang mengolengkan kapal mereka telah mengiringi petualangan mereka mengunjungi satu pulau ke pulau yang lain. Insiden mencekam yang pernah dilaluinya yakni saat dia berusaha melindungi sang petualang dari cakaran macan tutul dan bisa ular yang mematikan. Dia telah berteman dengan puluhan jenis satwa liar dan merasakan sakitnya patukan burung flamingo. Dia sangat bahagia saat bertengger bebas dengan sang petualang dalam menyusuri rimba dengan bantuan gajah Afrika, unta dan kuda yang berlari dengan sangat kencang. Sungguh pesona yang luar biasa...

***


Lamunannya terhenti saat sang petualang membelainya lembut dan membersihkan noda yang mengotori tubuhnya. Sang petualang sangat menyayanginya dan merawatnya dengan baik. Dia tidak akan membiarkan kaki-kaki usil dari orang yang tidak berperasaan menyakitinya. Ini adalah janji sang petualang kepada sahabatnya sang sepatu di hari tua.

“Aku masih ingat berbagai petualangan yang telah kita lalui. Aku ingin merasakannya lagi. Aku rindu masa mudaku...” sahut sang petualang sambil mengikat tali-tali sepatu boot tua itu dengan rapi.

Boot tua menatapnya dalam-dalam. Bukan tatapan dengan mata, tapi tatapan dari hati nurani yang hanya dapat dirasakan oleh sang petualang seorang.

“Tapi aku sudah sangat tua...” jawabnya lirih.

Seakan dapat mendengarkan jawaban dari boot tua itu, sang petualang pun menyahut, “Aku tahu. Tapi keinginan itu tiba-tiba timbul. Aku kembali ingin berkelana. Masih banyak tempat yang belum kukunjungi.”

“Aku tidak bisa menemanimu lagi...” gumamnya lemah.

Sang petualang tersenyum dan mendekati wajahnya.

“Aku tidak akan merepotkanmu. Engkau telah cukup lama membantuku. Engkau telah begitu lelah. Sudah saatnya ada yang menggantikan dirimu.”

Boot tua itu menatapnya sendu hingga ikatan kulitnya terlepas. Dia begitu sedih karena tidak mampu melindungi sang petualang lagi. Dia tidak ingin kasih sayang sang petualang harus terbagi kepada sepatu lain. Tapi tidak selamanya dia mampu bertahan. Dia harus memberikan kesempatan kepada sepatu lain untuk menikmati petualangan yang sama. Dan ini demi kebaikan sang petualang...

Sang petualang kembali meletakkan boot tua ke sudut lemari. Dia mengenakan kemeja kumuh di balik jaket kulitnya. Tiba-tiba sesuatu yang berkilau dan basah keluar dari sela-sela tubuh boot tua itu. Dia ternyata begitu bersedih.

Sang petualang menyadarinya dan menatapnya lekat-lekat.

“Tenang. Engkau tetap yang terbaik bagiku...”

***


Tekad sang petualang untuk kembali melanjutkan berbagai impiannya terlihat semakin kuat. Dia mulai berusaha mencari informasi mengenai daerah-daerah baru yang menantang dan berbahaya untuk dikunjungi. Mulai dari mengamati berbagai jenis peta, membaca ensiklopedi dunia dan mempersiapkan peralatannya. Sepertinya dia ingin menghabiskan kehidupan di masa tuanya dengan beragam petualangannya lagi. Usia bukan menjadi penghalang baginya. Dia tidak takut akan berbagai resiko yang mengancam kesehatan bahkan nyawanya. Kecintaannya akan petualangan membuatnya rela mati untuk itu.

Namun, sang boot tua yang selalu menemani dan melindungi kaki sang petualang harus pensiun dari tugasnya. Sebentar lagi dia akan digantikan oleh sepasang sepatu baru. Dia melihat dirinya yang sudah kian lemah dan renta. Masa-masa indah itu telah berlalu, batinnya.

Lamunannya buyar saat sang petualang mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam kotak. Lalu sang petualang memasukkan kotak itu ke dalam tas ranselnya dan beranjak pergi. Sang boot tua seketika menangis dan menggigil ketakutan. Dia membayangkan dirinya akan dibuang ke tempat sampah karena dianggap tidak berguna lagi. Kemudian dia akan hancur menjadi puing-puing dan kepingan yang berserakan. Hatinya gundah...

“Mau dibawa kemana aku ini? Apakah aku akan dilupakan begitu saja setelah semua pengabdian yang kuberikan padanya? Ternyata dia sungguh manusia kejam!” gumamnya sambil meronta-ronta marah. Dia terus mengumpat sang petualang dan menyesali diri. Walaupun dia tidak tahu apa yang akan terjadi, namun dia terus gelisah di kotak yang sempit itu.

Ternyata semua dugaannya salah. Sang petualang masuk ke sebuah bangunan kecil dan antik. Kotak boot tua itu dibuka, dan... matanya membelalak lebar saat dia berada di sebuah tempat yang nyaman, sejuk dan dia melihat beragam benda sejenisnya terpajang rapi di lemari-lemari kayu. Beberapa dari mereka ada yang memalingkan pandangannya, ada yang tersenyum dan ada juga yang tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Boot tua pun melambaikan tali sepatunya untuk menunjukkan sikap bersahabat. Selama hidupnya, dia cukup jarang melihat dan berbincang dengan sepatu-sepatu lain. Wajar, dia begitu terpesona.

“Aku ingin mencari sepatu boot jenis ini. Apakah masih ada?” tanya sang petualang kepada penjaga toko sepatu. Dia memperhatikan dengan seksama dan mengerutkan dahinya.

“Sepatu ini memang sudah sangat usang. Sudah tidak layak pakai. Kalau kau ingin mencari yang persis seperti ini, kau tidak akan menemukannya lagi. Pabrik sudah berhenti memproduksinya sejak 5 tahun yang lalu.”

Sang petualang mengeluh lalu dia kembali menerangkan, “Dulu aku membelinya di sini. Bagaimana kalau kau khusus membuatkannya untukku?”

Dia menggeleng. “Maaf, kami tidak bisa. Kami berhenti membuatnya karena para konsumen tidak meminatinya lagi. Jenis ini sudah ketinggalan zaman. Untuk membuatnya sungguh membutuhkan biaya yang besar. Kami harus mengimport kulit dan karet dengan kualitas tinggi dari luar negeri...”

Sang petualang kecewa dan memandangi boot tuanya. Selintas dia mendapatkan ide. “Bagaimana kalau kau memperbaikinya? Aku harus segera menemukan sepatu yang cocok untukku. Aku ingin pergi berpetualang.”

“Memperbaikinya sama saja dengan merusaknya. Hasilnya akan lebih buruk karena keadaannya sudah sangat tua. Bagaimana kalau kau melihat-lihat dulu sepatu yang ada di sini? Mungkin kau tertarik” jawab penjaga toko sambil mempersilakan sang petualang berkeliling memilih sepatu yang sesuai.

Boot tua berbalik dan memperhatikan aneka sepatu di sekelilingnya. Ada sepatu keds dengan beragam corak dan warna menarik yang terlihat sporty. Ada beberapa sepatu hak tinggi yang tersusun dengan anggun berhiaskan pita dan bunga di sisi-sisinya. Ada juga sepatu kerja pria yang sangat mengkilat dan maskulin. Terakhir, dia melihat beberapa sandal dengan beragam motif lucu di lemari bagian bawah. Tapi dia tidak melihat sepatu yang mirip dengannya. Sepatu boot yang cocok untuk menemani sang petualang. Mereka masih sangat muda dan menawan, batinnya.

“Adakah yang ingin menjadi pengganti diriku?” tanyanya lantang memberanikan diri. Beberapa sepatu terbangun karena mendengar suara berat sang boot tua.

“Wahai boot tua.. Kau ini milik siapa?” lanjut beberapa sepatu keds simpati. Sepatu-sepatu hak tinggi tertawa mengejek melihat penampilan kumuh sang boot tua. Sedangkan sepatu pria masih bersikap dingin tanpa ekspresi.

“Aku milik sang petualang sejati yang sedang berdiri di balik lemari itu. Aku telah cukup lama menemani dia. Kami setiap hari melakukan berbagai petualangan baru. Mengunjungi pulau-pulau tak berpenghuni, melewati derasnya ombak, menahan panasnya padang pasir, dinginnya es abadi dan berpetualang menjelajah berbagai bangunan unik hingga rimba yang ganas” jawabnya bangga.

“Menarik sekali! Kau pasti sudah punya banyak pengalaman. Aku juga ingin berkeliling dunia sepertimu” sahut sepatu sneakers berwarna hijau dengan penuh antusias.

“Ya, tapi kau harus juga sanggup untuk melindungi sang petualang. Kau harus rela menahan sakit dari serangan hewan-hewan buas, menantang rasa takut saat kau mendaki bukit tinggi dan menghadapi keganasan alam. Itu setara dengan pengalaman luar biasa yang akan kau peroleh...”

Terlihat semua sepatu bergidik mendengar cerita sang boot tua. Seketika sneakers hijau tadi menunduk dan menggelengkan kepalanya. Sahabatnya, sneakers dengan warna hitam putih menghibur kekecewaannya. “Lebih baik kau jangan pergi. Itu sungguh berbahaya. Kau akan mati dan rusak seketika dengan petualangan yang penuh resiko itu. Itu bukan tugas kita. Kita ditugaskan melindungi kaki-kaki para anak sekolah dan para remaja dengan berbagai aktivitasnya, berolahraga dan bermain. Itulah tugas kami, boot tua. Maaf, kami tidak sanggup...”

Tiba-tiba tawa nyaring beberapa sepatu hak tinggi mengalihkan perhatian sang boot tua. “Wahai boot tua, lihatlah kami. Kami begitu anggun dan indah. Kami sungguh tidak pantas untuk menggantikanmu. Kami ditugaskan untuk melindungi kaki para wanita muda yang modis dan modern. Ceritamu tidak menggugah perasaan kami sama sekali. Kami akan dibawa oleh gadis dan wanita kaya ke mall dan pesta-pesta mahal. Harga diri kami bisa turun jika harus tinggal dengan petualang seperti dia. Kami tidak ingin tubuh indah kami terluka dan tergores oleh petualanganmu yang menyedihkan itu...” gumamnya mengejek. Beberapa sepatu hak tinggi di sampingnya ikut tertawa-tawa dengan sikap centil dan menjijikkan.

“Jangan pernah menghina sang petualang. Dia sungguh berhati mulia. Tubuh kalian memang indah, tapi kalian yang selalu hidup dengan kemewahan membuat hati kalian angkuh dan tertutup. Sang petualang juga tidak akan berminat menyentuhmu atau melirikmu! Petualangan kami tidak dapat dinilai dengan apapun. Lampu-lampu sorot yang ada di pesta mahal kalian, tidak ada istimewanya sama sekali jika kalian pernah melihat keindahan jutaan bintang di langit malam. Kalian sebaiknya tahu itu!”. Boot tua mengeluarkan emosi dan kemarahannya hingga kerumunan sepatu hak tinggi kaget. Dia tidak akan pernah memaafkan orang yang merendahkan kebaikan sang petualang. Dia sangat membenci sepatu hak tinggi itu.

“Oops. Terserah deh, tapi itu bukan gaya hidup kami...” kata sepatu hak tinggi dengan pita pink indah menghentikan kemarahan sang boot tua.

Sambil mengendalikan napasnya yang tersengal-sengal, dia terus berusaha mencari pengganti yang cocok untuk dirinya. Lalu sepatu pria yang dari tadi bungkam mulai berani mengutarakan pendapatnya. “Engkau tidak perlu mengharapkan kami. Kami ditugaskan untuk menemani pria aktif yang selalu melakukan bisnis dan pekerjaannya di kantor. Kami tahu segala hal tentang bisnis. Kami tidak mengerti sama sekali tentang dunia petualanganmu. Itu sungguh menakutkan bagi kami...”

Boot tua tersenyum mendengar penuturan polos sang sepatu tadi. Beberapa rekannya hanya berpaling menunjukkan kesombongannya. “Ya benar. Hanya orang yang bernyali besar yang mampu melawan ketakutan itu. Kau tidak pantas untuk ikut petualangan ini. Dalam dunia bisnis, kau akan melakukan segala cara untuk mengeruk keuntungan pribadimu. Tapi tidak dalam petualangan ini. Kau harus mengusir keegoisanmu dan kau harus bersikap tulus untuk belajar berkorban terhadap orang lain. Kau akan menjunjung tinggi nilai kesetiaan dan persahabatan yang mungkin tidak akan kau kenal dalam duniamu. Tapi, aku bangga karena kau mau menghargai sepatu tua sepertiku.”

Sepatu tadi terpukau hingga kilatan di sepatunya semakin cemerlang. “Kau sungguh bijak, boot tua!”

Dari lemari yang paling bawah terdengar suara kecil yang berusaha memanggil-manggil boot tua. “Kelihatannya menyenangkan. Aku suka kegiatan-kegiatan yang menantang! Aku mau menggantikanmu...” ujar sepasang sandal biru tua dengan motif garis-garis.

Boot tua menyeringai tapi tetap menunjukkan senyuman uniknya. “Terima kasih. Aku menghargai niat tulusmu. Tapi, bentukmu sangat aneh. Kau tidak akan bisa menutupi kaki sang petualang dengan sempurna. Dia akan kesakitan, Nak..”

Sandal biru itu mengangguk lesu lalu dia kembali berpikir. “Bagaimana dengan boot kulit hitam itu?” tunjuknya ke arah boot hitam yang sedang tergeletak murung di dalam rak kaca yang berdebu. Di sisinya tergantung label harga dengan jumlah nilai yang sangat tinggi. Boot tua itu berbalik dan memandang boot hitam di bawah sambil menunjukkan sikap wajah penuh tanda tanya.

“Hey, boot tua. Sungguh bahagia nasibmu. Kau bisa menikmati petualangan yang menyenangkan dan tinggal bersama orang yang menyayangimu. Aku di sini duduk sejak lama. Tidak ada yang pernah memperhatikanku atau berniat membeliku. Aku hanya duduk di sini memandangi lalu lalang orang yang datang sambil terus berharap” jawabnya sendu.

“Bagaimana kalau kau menggantikanku?”

“Ehm...penjaga toko juga telah menunjukkanku kepada sang petualang. Tapi hargaku yang luar biasa mahal mungkin membuatnya tidak berminat membeliku. Lagipula dia malah kasihan terhadapku. Dia mengatakan bahwa aku sebaiknya tidak ikut dengannya. Petualangannya sungguh berbahaya dan hanya akan membuatku menderita. Mungkin dia benar, karena aku dikhususkan untuk dipakai oleh para model-model terkenal. Sedangkan sahabatku yang di sebelah ini biasa digunakan oleh para penggembala kuda dan koboi-koboi yang tinggal di pedalaman.” jawabnya sambil memperkenalkan boot di sebelahnya yang ukurannya lebih kecil.

Tanpa sadar sang petualang kembali meletakkan boot tua ke dalam kotak. Sang petualang melangkah dengan kecewa karena tidak menemukan sepatu yang layak untuk meneruskan petualangannya. Dia sungguh murung dan wajah tuanya suram. Seketika dia merasa semua impiannya sirna.

“Wahai boot tua, maafkan kami karena tidak sanggup menolongmu...” ucap beberapa sepatu yang terpajang untuk menghibur kekecewaan boot tua yang terbaring miring dalam ransel.

***


Pagi hari ini udara sungguh dingin. Matahari bersembunyi di balik awan hitam. Rintik-rintik hujan membangunkan tidur boot tua dari mimpi indahnya. Dia memandangi wajah sang petualang yang sedang duduk memandang gerimis yang turun dari balik jendela. Boot tua mengerti akan kegundahan sang petualang. Namun, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menghibur hatinya. Sesekali dia menyesal karena dia sudah begitu tua dan lemah sehingga tidak mampu lagi membahagiakan sang petualang. Tapi dia lebih menyesal melihat sikap para sepatu muda yang telah ditemuinya yang tidak memiliki keberanian dan nyali untuk menghadapi suka duka kehidupan.

“Masa telah berubah...” gumam sang petualang sambil tidak melepaskan pandangannya pada tetes-tetes air yang menyangkut di jendela.

“Kau tahu, tidak ada yang abadi. Begitu juga petualangan ini...” Sang petualang seakan mengajak boot tua berbicara. Tetapi dari wajahnya tidak terlihat keresahan. Wajah sang petualang terlihat kembali cerah. Senyuman kecil hadir di bibirnya.

“Aku rasa petualanganku sudah cukup. Kau sudah tua, begitu juga denganku. Kau sungguh boot tua yang luar biasa. Tidak ada yang seberani dirimu. Tidak akan pernah lagi kutemukan sepatu setangguh engkau, boot tua...”

Boot tua tersipu malu hingga tali yang tersimpul di tubuhnya terlepas. Sang petualang mengangkat boot tua dengan sayang ke atas meja di hadapannya.

“Aku sudah membulatkan tekadku. Aku tidak akan meneruskan petualanganmu tanpa engkau...”

Boot tua bingung dan kembali murung. Dia tidak tahu jelas apa alasan sang petualang sejati itu mengurungkan niatnya. Dia hanya menyebutkan bahwa dia tidak akan pergi tanpa boot tua yang menemaninya.

“Kita akan menikmati masa tua bersama. Menikmati setiap detik sisa waktu hidup. Aku punya impian baru, boot tua. Aku ingin ada generasi yang mencintai petualangan dan berani menaklukkan rasa takut. Aku ingin dunia tahu tentang pengalaman dan persahabatan kita ini. Aku akan mengabadikan ini semua dalam sebuah buku...”

Boot tua mengangguk dan melepaskan air mata bahagianya begitu saja. Dia sungguh merasa berharga. Sang petualang telah menganggapnya sebagai manusia sejati yang tercipta dalam wujud sepasang boot yang kini telah usang...

Sang petualang mulai menuliskan kata demi kata dalam sebuah lembaran kertas kosong. Dengan boot tua di hadapannya sebagai inspirasinya. Sesungguhnya petualangan baru telah dimulai kembali...

***


*cerpen ini pernah dimuat di Horizon-majalah sastra tahun 2006*




Untitled #9

"Positive thinking will let you do everything better than negative thinking will." - Zig Ziglar

Trip to My Beloved Village (RIP My Beloved Grandpa)

Ini cerita tentang opung dan perjalanan keluargaku ke kampung halaman kami tercinta..
*****
Opung (sebutan untuk opa dalam bahasa batak) setahun yang lalu (2010, red) telah tinggal bersamaku di Makassar. Beliau datang dari Tangerang bareng papa yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Curug, Tangerang. Sekitar 3 bulanan sudah opung berangkat meninggalkan Pematang Bandar dan tinggal di rumah tulang (paman, red) yang di Tangerang. Opung telah sebelas tahunan di Pematang Bandar. Mungkin karena beliau ingin mencari suasana baru, beliau pun berangkat ke Tangerang. 3 bulan sudah opung tinggal bersama anak ke 5-nya, hingga pada akhirnya papa mengajak opung untuk jalan-jalan ke Makassar. Ya, hanya jalan-jalan. Awalnya tulang mengizinkan opung ikut papa dengan alasan hanya untuk jalan-jalan saja. Nggak disangka, opung betah di Makassar, dan enggan untuk pulang lagi ke Tangerang bahkan ke Pematang Bandar. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh semua kakak-kakak mama saya. Mereka mengatakan bahwa opung sudah sangat tua, yang mereka khawatirkan adalah apabila terjadi apa-apa pada opung, dan opung jauh dari mereka. Adat di sana, ketika terjadi hal buruk pada orangtua (meninggal, red), alangkah baiknya bila berada di tempat anak laki-laki, dalam hal ini entah di Pematang Bandar ataukah di anak laki-lakinya yang ada di Tangerang. Dua bulan terakhir sebelum kepergian opung, beliau sakit-sakitan, bahkan dua kali masuk rumah sakit. Ketika masuk rumah sakit yang pertama kalinya, tulang-tulangku yang di Medan dan Tangerang sudah menelepon mama terus-menerus untuk menyuruh opung pulang. Tapi opung bersikeras nggak akan balik ke Tangerang atau bahkan Pematang Bandar. Begini katanya, “Di manapun Tuhan memanggil saya, sama saja. Entah di anak laki-laki, ataupun di tempat anak perempuan, semuanya sama saja. Dimanapun saya dikuburkan, disamping kuburan opung boru(alm. Istrinya) atau tidak, sama saja. Toh nantinya ketika di alam baru sana pun kita tidak akan saling mengenal satu dengan yang lainnya. Jadi saya ingin meninggal di sini dan di makamkan di sini.” Mama pun nggak ingin menyuruh opung pulang, karena itu akan menimbulkan kesan bahwa mama mengusirnya dan nggak ingin mengurusnya, padahal mama ingin mengurus opung semampunya. 
 
Ketika masuk rumah sakit pertama kali, opung didiagnosa menderita sakit anemia berat. Setelah mendapatkan perawatan, akhirnya kondisi kesehatan opung pun mulai membaik. Opung pun diizinkan pulang. Beberapa hari kemudian, ngga disangka, opung tiba-tiba nyuruh mama untuk menelepon anaknya yang ada di Medan. Beliau ingin dikirimkan jas baru yang mahal. Mama kaget dan nanya ke opung, "Untuk apa jasnya, Pak", dan Opung menjawab, "Untuk saya pake ke gereja kalau hari minggu." Mama pun menuruti keinginan opung, dan beberapa hari setelah itu, paket kiriman jas-nya pun tiba di rumah. Kami sekeluarga khawatir dan bertanya-tanya, "apakah ini suatu pertanda?" Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Opung.

Sekitar dua minggu pasca sembuh dari anemia beratnya, opung mulai merasakan pusing-pusing lagi. Nafsu makannya menurun drastis, yang membuat tubuhnya semakin kurus. Karena kondisi kesehatannya yang makin menurun, ditambah sesak yang membuatnya sulit bernafas, akhirnya opung pun dibawa ke rumah sakit. Saya ingat, saat itu hari jumat malam, 15 April 2011, sekitar jam 9 malam, opung sudah merasa sangat sesak, bahkan beliau mengatakan bahwa ia sudah nggak kuat. Kami sekeluarga khawatir. Papa panik mencari taksi, mama panik melihat kondisi opung, saya dan adek pun panik menyiapkan barang dan menunggu taksi datang. Taksi pun datang, dan opung dipapah ke dalam taksi. Mungkin karena terlalu sakit, akhirnya di dalam taksi beliau tidak lagi bisa duduk, hanya berbaring di pangkuan mama. Adek ikut ke rumah sakit bersama taksi itu, dan papa dengan motor. Saya tinggal di rumah. Saya nangis, dan hanya berdoa, berdoa, dan terus berdoa, mendoakan yang terbaik untuk opung. Setelah mendapatkan penanganan yang segera, opung pun tak lagi sesak, dan agak baikan.

Saya ingat sekali bahwa dua hari sebelumnya, mama sempat meminta didoakan ketika ibadah keluarga di rumah tante dewi (dosen saya juga di kampus), agar semoga tidak terjadi apa-apa dengan opung, tidak masuk rumah sakit, dan hari minggu, 17 April 2011, bisa mengadakan acara syukuran karena adek udah di sidi, dan bertepatan dengan perayaan ulang tahunnya. Tapi Tuhan punya rencana lain. Opung masuk rumah sakit. Hari minggu ketika adek di sidi, papa, mama, dan saya menghadiri acara tersebut, namun acara syukuran yang direncanakan sebelumnya ditunda.. Opung dijaga tante Ine di rumah sakit. Seharusnya saya sebagai cucunya yang menjagai beliau, namun di satu sisi saya juga ingin melihat adek saya disidi.

Hari pun berlalu. Ketika hari selasa, dua orang kakaknya mama datang, yakni kakak pertama (perempuan) dan kedua (laki-laki), yang tinggal di Pematang Bandar. Mereka berangkat hari selasa pagi, dari Pematang Bandar menuju Medan. Dan dari Medan mereka transit sebentar di Jakarta. Mereka pun melanjutkan penerbangan ke Makassar dan tiba sekitar pukul 21.30 WITA di Makassar. Selama di perjalanan menuju Makassar, opung selalu nanyain ke mama “sudah sampai di mana mereka? Kenapa lama sekali sampainya?”, dan mama pun selalu menelpon papa menanyakan posisi mereka. Sepertin ya opung memang tidak sabar bertemu kedua anaknya itu. Semenjak diberitahukan bahwa kedua anaknya yang di Pematang Bandar bakal datang ke Makassar menjenguk opung, opung jadi selalu menanyakan mereka ke mama. Bahkan opung pun bertanya, “kenapa hanya dua orang yang datang? Kenapa tidak semua (anak-anaknya) juga ikut datang?”, mama hanya mengatakan bahwa biayanya yang tidak cukup untuk mereka semua datang ke Makassar.

Sesampainya mak tua dan tulang agus di Makassar, papa membawa mereka ke rumah sebentar untuk menaruh barang-barang. Sekitar jam sepuluhan, mereka ke rumah sakit. Setelah menempuh perjalanan sejam dari rumah ke rumah sakit, sekitar pukul sebelas mereka tiba di rumah sakit. Sebenarnya saya juga ingin ikut ke rumah sakit saat itu (entah ini feeling apa bukan), berhubung mereka (papa, mak tua, dan tulang) ke rumah sakit dengan taksi. Tapi saya juga mikir gimana pulangnya nanti, karena rencananya papa nanti pulangnya naik motor bareng adek yang emang udah ada di rumah sakit saat itu. Saya pun memutuskan untuk tinggal di rumah. 

Tulang dan mak tua pun ngobrol-ngobrol dengan opung. Mama juga sempat menelepon kakak-kakaknya yang nggak bisa datang ke Makassar, keluarga-keluarga yang ada di Medan, Tangerang, Bandung, dan yang lainnya. Opung berbicara dengan mereka walau hanya via telepon. Tapi mama bilang, “walau mereka nggak datang, yang penting opung bisa denger suaranya.” Cukup lama mereka ngobrol-ngobrol. 

Oya, beberapa saat sebelumnya Ibu Pendeta dan beberapa warga jemaat gereja di tempat kami juga datang menjenguk. Dan yang bikin saya merinding, mama cerita, katanya pas pendeta nanya ke opung, "Opung mau didoakan apa? Penyerahan atau penyembuhan?", Opung menjawab, "Penyembuhan." Bahkan opung masih hafal dan fasih berdoa 'Doa Bapa Kami', walaupun beliau berdoa sambil duduk tertunduk dan liurnya menetes karena tidak kuat untuk duduk lagi, beliau sangat berusaha. T_T

Hingga akhirnya mama menyuruh opung istirahat karena opung pun sudah terlihat capek. Begitu pula kakak-kakak mama disuruh istirahat karena telah menempuh perjalanan jauh, dan mama yang menjaga opung. Mama sempat ngobrol dengan pasien di sebelah opung. Pasien itu sempat bilang, “bersyukur ibu, bapak masih sempat bertemu dengan anak-anaknya, sempat ngobrol-ngobrol juga.” Setelah selesai ngobrol, mama pun memutuskan untuk istirahat. Sebelum tidur, mama sempat memegang tangan opung, untuk memastikan bahwa opung baik-baik saja. Dan memang opung baik-baik saja, tangannya masih hangat, dan wajahnya pun sepertinya tertidur pulas. Tak lama ketika mama mencoba tertidur, sekitar jam dua, ternyata mak tua bangun dan memegang opung. Dia teriak, mama dan semua kaget. Mak tua teriak sambil bilang, “aaaaaa, bapak sudah tidak ada.” Sambil nangis mak tua teriak. Tangan dan badan opung sudah dingin. Papa yang ketika jam satu itu sudah ada di rumah bersama adek, hanya sekitar sejam di rumah, papa dan adek pun kembali ke rumah sakit ketika mendengar hal itu. sekitar jam 3 subuh, tante ine datang ke rumah. Saya yang tertidur pulas nggak dengar ketika tante ine manggil-manggil dari luar pagar. Bahkan 5 panggilan di handphone saya pun nggak saya rasakan getarannya sama sekali. Nggak berapa lama setlah tante ine manggil-manggil saya, bahkan tante ine juga sempat berpikir untuk manjat pagar namun nggak jadi karena takut disangkain maling sama tetangga, mama dan adekpun datang. Ketika mereka sibuk menyiapkan jas dan barang-barang lain yang mau dibawa ke rumah sakit, akhirnya saya pun terbangun. Awalnya saya heran kenapa semua pada sibuk, bahkan saya bertanya “Kenapa opung dibawa pulang? Opung udah sembuh?” mama menjawab, “Opungmu udah nggak ada. Udah meninggal opungmu.” Saya kaget seketika. Speechless. Dan saya bilang ke mama, “padahal tadi malam saya mau ikut ke rumah sakit, tapi bingung gimana pulangnya nanti.” Mama langsung bilang, “nggak papa kok.” Ketika mama mau balik ke rumah sakit bareng adek, saya sempet pengen ikut ke rumah sakit, tapi papa nggak ngizinin, karena takutnya ada polisi dan adek belum punya sim. Akhirnya saya pun tinggal di rumah sama tante ine. Beberes rumah karena jam 7 pagian nanti jenazah opung mau dibawa ke rumah untuk ibadah singkat, ibadah pelepasan jenazah sebelum dibawa ke Medan. Jenazah opung tiba di rumah sekitar jam 7 pagi, dan ibadah singkat pun dimulai. Sekitar pukul 07.30 WITA, kita sekeluarga ke airport nganter tulang agus yang bakal berangkat ke Medan membawa jenazah. Berhubung karena pendamping di satu paket pengiriman jenazah hanya satu orang, jadinya tulang agus-lah yang berangkat duluan. Tulang agus dan jenazah opung pun tiba di Medan, lalu dibawa ke Pematang Bandar dengan menggunakan ambulance.

Tiket untuk ke Medan di hari rabu masih terlalu mahal. Jadinya papa memutuskan untuk membeli tiket keberangkatan hari jumat yang lebih murah agar bukan hanya mama dan mak tua yang berangkat, namun papa, adek, dan saya pun bisa ikut ke Medan menghadiri pemakaman opung yang rencananya dimakamkan hari sabtu. Jumat, 22 April 2011, kami sekeluarga berangkat ke Medan. Kami berangkat subuh dari rumah, sekitar pukul 05.00 WITA menuju Sultan Hasanuddin International Airport. Setelah check-in, akhirnya sekitar pukul 06.30 WITA, pesawat pun take-off. Sekitar 2 jam penerbangan, kami transit di Soekarno-Hatta International Airport. Sekitar sejam setelah melapor di bagian pelaporan penumpang transit, kami pun melanjutkan perjalanan ke Medan yang ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. 

Sesaat sebelum take off Jakarta-Medan


Sekitar pukul 11.00 WIB kami tiba di Polonia International Airport. Kami masih harus menempuh 3 jam perjalanan darat untuk sampai di Pematang Bandar. Sekitar jam setengah empat sore kami tiba di Pematang Bandar. Kami disambut dengan haru. Kakak-kakak mama pada nangis.

Semua keluarga pada ngumpul di rumah tulang Agus, kakak laki-laki mama yang pertama. Sejak kami sampai, acara berasa nggak ada hentinya (halah, ini lebay), mulai dari acara nangis-nangisan semua anak-anaknya opung, dan anggota keluarga lainnya, acara nyanyi puji-pujian, dan sebagainya. Sampai akhirnya saya benar-benar nggak bisa nahan ngantuk dan memutuskan tidur jam sepuluh malam. Keesokan harinya, sabtu, 23 April 2011, pagi-pagi buta semua keluarga udah pada beberes, dandan buat acara pemakaman opung. Saya bukan type cewek yang suka dandan sampe menor, bedak dan lipgloss cukup kok buat saya haha.. 

Acara pun dimulai. Buju buneennggg... ternyata acaranya seharian. Sekitar jam delapan pagi, acara udah dimulai di rumah tulang Agus, acaranya itu sejenis ucapan-ucapan terakhir yang ingin disampaikan ke opung yang bentar lagi akan dimakamin. Mulai dari anak, sampe cucu-cucu ngasih ucapan-ucapan terakhir. Sekitar jam sembilanan, jenazah dibawa ke gereja (tepatnya bangunan samping gereja) untuk diadakan acara selanjutnya. 

 Ketika jenazah Opung dibawa dari rumah menuju Gereja



 Menuju Gereja


Nah di sini ini yang acaranya nguras tenaga banget. Acara adat yang mengharuskan kaki untuk bekerja lebih maksimal (berdiri, red). Cuma berdiri sih emang, tapi berdirinya itu sekitaran TUJUH JAM. Buseeettttt.... Paling duduknya cuma bentaran, eh udah mesti berdiri lagi di samping petinya opung. 

 Semua cucu harus berdiri di samping peti Opung


Tiap ada orang yang dateng ngasih santunan, uang, ulos, beras, dll, musik pun dimainkan dan kita semua mesti manortor. 



Melelahkan memang. Tapi nggak papa deh, demi opung untuk yang terakhir kalinya. Sekitar jam setengah limaan, jenazah pun dibawa ke tempat pemakaman 



 Perjalanan menuju tempat pemakaman


dan dimakamkan (good bye my beloved opung...).

Hari minggu tiba. Kita udah mulai beresin barang-barang, siap-siap mau ninggalin Pematang Bandar di esok hari. Waktu berjalan, dan sampailah di malam hari. Papa, mama, adek, dan aku diadatin gitu. Bukan diadatin sih, entahlah apa namanya. Tiga kakak laki-laki mama ngasih piring besar isinya nasi sama ikan mujair jumbo. Sambil ngasih makanan itu, mereka bicara dalam bahasa batak, mama bilang sih artinya mereka ngucapin terima kasih sama kami karena kami udah ngerawat opung selama opung ada di Makassar, bahkan sampai meninggal di Makassar. Oya, ada juga beras yang ditaruh sedikit-sedikit di kepala kami, yang kata mama, itu artinya kita diberikan berkat Tuhan melalui kakak-kakak mama itu. pokoknya aku speechless deh sama adat istiadat di sana yang masih kental.. :)

Keesokan harinya, kami, keluarga tulang Hendra, dan tulang Jares udah mulai berangkat ke tempat tujuan kami masing-masing. Tulang Hendra dan tulang Jares berangkat ke rumah keluarga mereka yang juga masih di Medan, dan kami pulang ke Makassar. Ya, awalnya papa bilang kalau kami akan pulang ke Makassar hari senin itu, tapi ternyata nggak. Sampai di kota Medan, saya, mama dan adek heran karena papa bukan nyuruh sopir mobilnya ke airport malah ke hotel. Ternyata temen papa udah nge-booking-in kamar di Danau Toba International Hotel



Walhasil, kita nginep satu malam di hotel. Nyampe di hotel, kita istirahat sebentar dan langsung menjelajah Medan nyari makan. Karena kita nggak tau jalanan di Medan, akhirnya nanya ke security hotel tempat makanan yang deket hotel. Kita ngitarin jalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya kita nemuin satu mall. Sun Plaza. Abis makan dan belanja di mall, kita pun balik ke hotel. Ternyata eh ternyata, mall sama hotel itu berdekatan, tapi karena kita salah ngambil jalan, kita malah muter, ajee gileee, betis bengkak karena jalan (okeh, ini lebay).

Malamnya, temen papa ngejemput kita di hotel. Kita ngitarin Medan di malam hari. Merdeka Walk adalah tempat kami mneikmati malam, juga santap malamnya. Kalo aku bisa mendeskripsikan, Merdeka Walk itu tempat makan yang ada di pinggir jalan, namun sudah didesain sedemikian rupa, ditata dengan baik sekali menurut saya. Warna-warni lampu menghiasi sepanjang Merdeka Walk. Di sana ada televisi besar yang sengaja ditaruh di bagian atas, disanggah oleh tiang-tiang yang emang didesain untuk itu. makanan-makanan yang ditawarkan juga hi-class. Pokoknya keren dehh.. 

 Merdeka Walk, Medan


Setelah santap malam, kami pun balik ke hotel.

Selasa pun tiba. Di pagi hari, setelah breakfast di Terrace Cafe yang ada di hotel, kami jalan lagi ngelilingin Medan, nyari bika ambon, oleh-oleh khas dari Medan. Cukup jauh, and you know what, kita jalan kaki. Huuuaaahhh capek gilee...  Lagi asik-asiknya jalan, kita ngeliat salah satu gereja di Medan, dan nyempetin foto.. hihi..



 Perjalanan pun dilanjutkan..

Akhirnya kita sampai di suatu gang yang di sepanjang jalan gang itu semuanya pada jual bika ambon. Udah dapet bika ambon, kita jalan lagi. Di jalan balik ke hotel, ada Cambridge Mall. Kita masuk ke sana, dan hanya masuk ngeliat-liat doang, dan keluar haha. selanjutnya kita ke Sun Plaza (lagi), buat ngisi perut. And then, balik ke hotel untuk siap-siap check out.  Istirahat bentar, dan sekitar jam duaan, kita check out dari hotel dan dijemput temen papa untuk dianter ke airport.

Pesawat Sriwijaya Air yang kita tumpangi take off sekitar jam empat-an dan tiba di Soetta Airport sekitar jam 6 lewat. Rencananya sih sampai di Cengkareng, mau ke Tangerang, karena kita baru take off ke Makassar jam 00.30 WIB, daripada nunggu kelamaan di airport, mending ke tempat tulang Jares. Kita mengira, tulang take off dari Medan sore dan bisa sampe di Cengkareng jam 7, ternyata mobil yang tulang tumpangin dari kampung ke kota Medan itu lambat, jadinya sekitar jam tujuh itu, tulang malah belum sampai di airport. Walhasil, sampai di Cengkareng, kita ke rumah temen papa yang kebetulan nggak jauh dari airport Cengkareng. 

Sekitar jam sepuluh malam, kita kembali ke airport. Ternyata suasana di airport di malam hari itu emang sepi beneeerrr... Bayangin aja, pas kita nyampe di gate keberangkatan, orang-orang disitu bisa dihitung jari. Yang ada cuma petugas bandara, penumpang yang ada baru kita aja. Sampai akhirnya penumpang yang lain mulai berdatangan. Malam yang sepi dan amat sangat dingin di bandara. Kami bahkan sempet tidur dikursi-kursi ruang tunggu keberangkatan. Tapi berhubung saya merasa amat sangat kedinginan, saya jadi nggak bisa tidur. Well, daripada benging, mending foto-foto, mengabadikan suasana malam hari di airport, hihi. (karena alasan privacy, saya nggak posting fotonya di sini.. *sok)

Setelah nunggu sekitar dua setengah jam, panggilan masuk pesawat pun terdengar. Kami tiba di Sultan Hasanuddin International Airport sekitar pukul empat dini hari. Setelah nunggu bagasi, sekitar pukul lima-an, kami berangkat menuju our home sweet home. Sampe rumah, kita semua langsung TEPAAAARRRRR....

 Beberapa hari kemudian, papa membongkar koper Opung. Di situ ada sebuah kertas, and you know what? Ternyata Opung nulis semua tanggal, bulan dan tahun mulai dari ketika Opung hijrah dari Pematang Bandar ke Tangerang, tahun beliau kembali ke Pematang Bandar, tanggal meninggalnya opung boru, tanggal ketika beliau kembali lagi ke Tangerang tahun kemarin, tanggal keberangkatan beliau ke Makassar,  tanggal ketika di rumah saya ada kebaktian keluarga, bahkan opung juga nulis tentang kapan beliau memasang gigi palsu, sampai biaya memasang gigi palsu itu, tentang bagaimana beliau menyuruh anaknya yang di Medan untuk mengirimkan uang dari tabungan uang pensiunannya, semua ada di kertas itu. Mama bilang, "Mungkin Opung senang dan udah lama kepengin masang gigi palsu, ya". 


Opuuuunnggg.. I love you.. And I'll be missing you so much.. :*

Untitled #8

"Freedom is not worth having if it does not include the freedom to make mistakes." - Mahatma Gandhi

Untitled #7

“Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memliki keberanian untuk mengutarakn cintamu kepadanya.” - Unknown

Untitled #6

“Ada 2 hal yang harus anda lupakan: kebaikan yang anda lakukan kepada orang lain dan kesalahan orang lain kepada anda.” - Sai Baba

up